TULISAN
4
1. Cerpen tentang Tanggung
Jawab
Dikisahkan,
sebuah keluarga mempunyai anak semata wayang. Ayah dan ibu sibuk bekerja dan
cenderung memanjakan si anak dengan berbagai fasilitas. Hal tersebut membuat si
anak tumbuh menjadi anak yang manja, malas, dan pandai berdalih untuk
menghindari segala macam tanggung jawab.Setiap kali si ibu menyuruh
membersihkan kamar atau sepatunya sendiri, ia dengan segera menjawab,
"Aaaah Ibu. Kan ada si bibi yang bisa mengerjakan semua itu. Lagian, untuk
apa dibersihkan, toh nanti kotor lagi." Demikian pula jika diminta untuk
membantu membersihkan rumah atau tugas lain saat si pembantu pulang, anak itu
selalu berdalih dengan berbagai alasan yang tidak masuk akal.Ayah dan ibu
sangat kecewa dan sedih melihat kelakuan anak tunggal mereka. Walaupun tahu
bahwa seringnya memanjakan anaklah yang menjadi penyebab sang anak berbuat
demikian. Mereka pun kemudian berpikir keras, bagaimana cara merubah sikap si
anak? Mereka pun berniat memberi pelajaran kepada anak tersebut.Suatu hari,
atas kesepakatan bersama, uang saku yang rutin diterima setiap hari, pagi itu
tidak diberikan. Si anak pun segera protes dengan kata-kata kasar,
"Mengapa Papa tidak memberiku uang saku? Mau aku mati kelaparan di sekolah
ya?" Sambil tersenyum si ayah menjawab, "Untuk apa uang saku,
toh nanti habis lagi?"Demikian pula saat sarapan pagi, dia duduk di meja
makan tetapi tidak ada makanan yang tersedia. Anak itu pun kembali berteriak
protes, "Ma, lapar nih. Mana makanannya? Aku buru-buru mau ke
sekolah."
"Untuk apa makan? Toh nanti lapar lagi?" jawab si ibu tenang.Sambil kebingungan, si anak berangkat ke sekolah tanpa bekal uang dan perut kosong. Seharian di sekolah, dia merasa tersiksa, tidak bisa berkonsentrasi karena lapar dan jengkel. Dia merasa kalau orangtuanya sekarang sudah tidak lagi menyayanginya.Pada malam hari, sambil menyiapkan makan malam, sang ibu berkata, "Anakku. Saat akan makan, kita harus menyiapkan makanan di dapur. Setelah itu, ada tanggung jawab untuk membersihkan perlengkapan kotor. Tidak ada alasan untuk tidak mengerjakannya dan akan terus begitu selama kita harus makan untuk kelangsungan hidup. Sekarang makan, besok juga makan lagi. Hari ini mandi, nanti kotor, dan harus juga mandi lagi. Hidup adalah rangkaian tanggung jawab, setiap hari harus mengulangi hal-hal baik. Jangan berdalih, tidak mau melakukan ini itu karena dorongan kemalasan kamu. Ibu harap kamu mengerti." Si anak menganggukkan kepala, "Ya Ayah-Ibu, saya mulai mengerti. Saya juga berjanji untuk tidak akan mengulangi lagi."
2. Cerpen tentang pandangan hidup
Nilai Kehidupan
Alkisah, ada seorang pemuda yang
hidup sebatang kara. Pendidikan rendah, hidup dari bekerja sebagai buruh tani
milik tuan tanah yang kaya raya. Walapun hidupnya sederhana tetapi sesungguhnya
dia bisa melewati kesehariannya dengan baik.
Pada suatu ketika, si pemuda merasa
jenuh dengan kehidupannya. Dia tidak mengerti, untuk apa sebenarnya hidup di
dunia ini. Setiap hari bekerja di ladang orang demi sesuap nasi. Hanya sekadar
melewati hari untuk menunggu kapan akan mati. Pemuda itu merasa hampa, putus
asa, dan tidak memiliki arti.
“Daripada tidak tahu hidup untuk apa
dan hanya menunggu mati, lebih baik aku mengakhiri saja kehidupan ini,” katanya
dalam hati. Disiapkannya seutas tali dan dia berniat menggantung diri di
sebatang pohon.
Pohon yang dituju, saat melihat
gelagat seperti itu, tiba-tiba menyela lembut. “Anak muda yang tampan dan baik
hati, tolong jangan menggantung diri di dahanku yang telah berumur ini. Sayang,
bila dia patah. Padahal setiap pagi ada banyak burung yang hinggap di situ,
bernyanyi riang untuk menghibur siapapun yang berada di sekitar sini.”
Dengan bersungut-sungut, si pemuda
pergi melanjutkan memilih pohon yang lain, tidak jauh dari situ. Saat
bersiap-siap, kembali terdengar suara lirih si pohon, “Hai anak muda. Kamu
lihat di atas sini, ada sarang tawon yang sedang dikerjakan oleh begitu banyak
lebah dengan tekun dan rajin. Jika kamu mau bunuh diri, silakan pindah ke
tempat lain. Kasihanilah lebah dan manusia yang telah bekerja keras tetapi
tidak dapat menikmati hasilnya.”
Sekali lagi, tanpa menjawab sepatah
kata pun, si pemuda berjalan mencari pohon yang lain. Kata yang didengarpun
tidak jauh berbeda, “Anak muda, karena rindangnya daunku, banyak dimanfaatkan
oleh manusia dan hewan untuk sekadar beristirahat atau berteduh di bawah
dedaunanku. Tolong jangan mati di sini.”
Setelah pohon yang ketiga kalinya,
si pemuda termenung dan berpikir, “Bahkan sebatang pohonpun begitu menghargai
kehidupan ini. Mereka menyayangi dirinya sendiri agar tidak patah, tidak
terusik, dan tetap rindang untuk bisa melindungi alam dan bermanfaat bagi
makhluk lain”.
Segera timbul kesadaran baru. “Aku
manusia; masih muda, kuat, dan sehat. Tidak pantas aku melenyapkan kehidupanku
sendiri. Mulai sekarang, aku harus punya cita-cita dan akan bekerja dengan baik
untuk bisa pula bermanfaat bagi makhluk lain”.
Si pemuda pun pulang ke rumahnya
dengan penuh semangat dan perasaan lega.
Kalau kita mengisi kehidupan ini
dengan menggerutu, mengeluh, dan pesimis, tentu kita menjalani hidup ini
(dengan) terasa terbeban dan saat tidak mampu lagi menahan akan memungkinkan
kita mengambil jalan pintas yaitu bunuh diri.
Sebaliknya, kalau kita mampu
menyadari sebenarnya kehidupan ini begitu indah dan menggairahkan, tentu kita
akan menghargai kehidupan ini. Kita akan mengisi kehidupan kita, setiap hari
penuh dengan optimisme, penuh harapan dan cita-cita yang diperjuangkan, serta
mampu bergaul dengan manusia-manusia lainnya.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar